Baduy – The Go Show Trip!

The Entrance to Baduy Luar Village

The Story Went to Different Direction!

Planning: Eddo, Julia dan saya akan Mendaki Gn. Cikuray, Garut. Kejadian nyata: Julia dan saya Trekking menuju pedalaman suku Baduy. Penyimpangan terjadi karena bergulirnya gejala-gejala yang mengarah pada pembatalan sesi mendaki perdana saya. Yang paling gencar adalah ketidak-yakinan  sebagian teman-teman akan kesanggupan saya! Ow ralat! bukan hanya sebagian tapi sebagian BESAR (silahkan dikaitkan dengan orang-orang yang berbadan besar! 😀 ). Bahkan ada yang dengan kejam dan gak pentingnya, disela-sela jam kerjanya (yaitu: MENGAJAR!) mengirimkan pesan chatting seperti ini:

“Riiiiiii! Lo mo mendaki?!! Hahahahaha!” (sembilu!)

Meskipun kemudian salah satu teman saya tidak jadi berangkat karena istrinya sakit, Julia dan saya memutuskan tetap berangkat. Dan dukungan teman saya yang lain tidak kalah ‘membangun’ semangat saya.

“Ingat yaaa… besok gue di rumah mandi dengan air segaaar, selonjoran….!”

Kejaaaam!!! Tapi semangat tetap membara… Sampai kemudiaan..

Si KOMPOR! Jangankan mleduk (kata Bang Ben), nyala aja ogah dia..! 😦 sementara waktu sudah mendekati jam kita harus meluncur ke Kampung Rambutan.

(Lama yaa cerita prolognya???! Hehehehe abis seru juga sih cerita behind the scene :p )

Singkat cerita, Julia sudah gak mood untuk berangkat climbing (padahal dia kapan sih kelihatan moodnya! Hahahaha… Panek!) dan kepalang sudah packing, saya pun menawarkan untuk ke Baduy. If we go right away, we can reach Rangkas Bitung about 8-9. 

Dengan sedikit bujukan bahwa saya akan mencari tahu apa saja yang kita perlukan dan siapkan, Julia setuju. 😀

Dengan bantuan informasi dari Johanes, kawan saya yang pernah melakukan perjalanan ini sebelumnya, saya pun menghubungi guide yang ‘manusiawi’ alias tanpa tipu-tipu dan genah, Kang Diyat. (BERUNTUNG!)

Off We GO!

Kami berangkat menuju stasiun Serpong yang hanya kami tempuh dengan menggunakan angkot tak lebih dari 10 menit dari tempat kami bekerja. Sesampainya disana, kereta menuju Rangkas Bitung yang akan berangkat adalah pukul 19.00. Waktu menunjukkan pukul 18.45! (BERUNTUNG!)

Dan kejutan berikutnya, awalnya saya tidak menganggapnya suatu keberuntungan demi melihat gerbong kereta yang kami naiki penuh sesak! Yesss! Literally it was very crowded! kami bertemu dengan ibu-ibu yang menerangkan segala seluk beluk kehidupan kereta ekonomi. Dan si ibu juga bertindak sebagai ‘kondektur’ yang memberitahu kami stasiun apa saja setiap kereta berhenti, juga dengan berbaik hati menghitung berapa stasiun yang akan kami lewati untuk sampai di Rangkas Bitung. Saya melimpahkan tugas mulia pada kuping Julia untuk ‘mendengarkan’ si ibu (hehehehe..), meskipun bukan berarti dia menyimak yaaaa… (huh!)

Sneaking picture-taking in the crowd

Gambar di atas sudah jauuuuh berkurang kepadatannya dan yaaa…kami duduk ngesot dibawah dengan beralaskan koran. Setelah kurang lebih selama 2,5 jam megap-megap bernapas dalam gerbong, kami akhirnya terbebas dari kepengapan akibat asap rokok yang menyerbu dari berbagai arah karena hampir seluruh penumpang gerbong itu adalah laki-laki.

Pukul 8.30, badan kami ingin segera mencari penginapan tapi perut pun tak kalah keras berdemo untuk meinta perhatian. And….makaaaan 😉 setelah bertanya-tanya pada penjual di warung tempat kami makan, kami naik becak menuju penginapan terdekat yang ditunjukkan yaitu Hotel Wijaya, tak jauh dari stasiun. Rate termurah adalah Rp.165.000 kamar mandi di luar. We took that. We just need to sleep.

Pagi-pagi pukul 7 kami berangkat ke terminal Aweh yang ternyata hanya perlu waktu sekitar 15 menit dari tempat kami. Dari hasil wawancara kilat abang-abang disekitar tempat ngetem, ternyata angkutan transportasi yang akan membawa kami ke Ciboleger berikutnya adalah pukul 9.00 dan yang sebelumnya adalah pukul 6.30. Baiklah! Kami pun… Sarapaaaaan! Trus sempat nebeng ke toilet di toko penduduk setempat, ngobrol sok akrab dengan siempunya dan… foto-foto! 😀

Ciboleger

Terminal Ciboleger menjadi tempat meeting point kami dengan Kang Diyat. Dalam penantian menuju tujuan, saya memilih tidur 😉 diiringi obrolan para penumpang lain yang sedang bergosip dan curhat satu sama lain (jadi serasa nebeng mobil orang instead of being in angkot). Atmosfer yang membuat saya membuka kembali kamus bahasa Sunda yang sudah terbenam jauh di otak terdalam :p (matak lieur!)

Dua setengah jam kemudian… Eng ing eng! Kang Diyat…here we are! Kami pun saling berpelukan mengingat usaha yang harus dilakukan untuk menemuinya! (Bo’ong diiing!) Sambil makan siang, kami bertanya-tanya tentang rute, akomodasi, hal lain yang perlu kita persiapan untuk mulai trekking dan tak lupa hobi, cita-cita, warna dan makanan favorit untuk lebih akrab (hehehe coret yang tidak perlu 😉 )

Kang Diyat menawarkan untuk istirahat di rumahnya sebelum kita mulai menapaki jalanan yang menurut perkiraannya akan memakan waktu 3-4 jam untuk mencapai Baduy Dalam bagi mereka dengan stamina baik (tidak banyak berhenti). Dengan perhitungan itu kami memutuskan untuk langsung melakukan perjalanan. Karena kami akan menginap di Baduy Luar berarti kami akan melakukan perjalanan pulang pergi dan akan menempuh +/- 7 (tergantung di desa mana kami akan menginap).

Baduy Luar

Excited!! Sekitar pukul 11 kami memasuki perbatasan kawasan suku Baduy. Sebelum kami memasuki perkampungan Baduy Luar kami wajib membaca peraturan bagi pengunjung.

Suku Baduy Luar, seperti namanya, mereka ada di bagian lebih luar dari perkampungan Baduy, ini membuat mereka lebih terbuka pada modernisasi. Mereka boleh menggunakan produk-produk dari ‘dunia luar’ seperti shampo, pasta gigi, sabun dll. kecuali alat yang berhubungan dengan listrik masih dilarang. Ada cerita menarik dari Kang Diyat tentang larangan alat elektronik pada suku Baduy. Karena suku Baduy Luar lebih dekat dan lebih intens berinteraksi dengan dunia luar, mereka tergoda juga menggunakan telpon genggam, dan mereka pun memakainya, dengan sembunyi-sembunyi tentunya. Nah! Sang kepala suku kerap melakukan ‘razia’ dengan waktu random dan mengambil telpon mereka untuk kemudian dimusnahkan. Untuk melakukan itu, sang kepala suku memberi ramuan ‘ajaib’ pada sang perazia sehingga dia hanya fokus pada satu misi dan tak pandang bulu! (Hebat ya?! Jangan-jangan film Total Recall terinspirasi dari tradisi Baduy!) Mungkin Pak SBY perlu minta minuman ‘ajaib’ itu buat para aparat pemberantas korupsi!

Fokuuus….! :p

Baiklah! Setelah sekitar 1 jam berjalan dengan medan naik turun dan berliku (seperti perjalanan hidup saya… 😀 Curcool!) melewati 2 Perkampungan: Kampung Balimbing dan Marengo, kami sampai di Kampung Gajeboh. Demi melihat ada seorang ibu yang sedang sibuk menenun, tanpa sadar (lebih tepatnya tanpa permisi) saya langsung ngedeprok di balai-balai rumah, berpose untuk difoto. Julia pun sigap merespon aroma narsis saya (hehehehe). Si ibu menoleh tampak tidak suka (menurut saya sih…tapi tidak, menurut Kang Diyat itu biasa, bukan berarti dia tidak suka. What?!) namun tanpa kata-kata kembali menenun, bahkan setelah saya mengeluarkan greeting chunk pamungkas saya: “Punten, Buuu…” 😦 Si Ibu tetap tak bergeming seolah tak mengerti bahasa saya (Atau memang tidak? :p)

A 4 year-old girl learnt how to do hand-weaving

Di sudut lain, saya terkesima dengan regenerasi mereka untuk melestarikan keterampilan menenun. Anak sang ibu yang baru berusia sekitar 4 tahun sudah di beri alat tenun mini untuk belajar. Amazing! Homeschooling ála pedalaman 🙂

Kang Diyat menawarkan pada kami untuk menginap di rumah si ibu ‘ramah’ dengan meyakinkan bahwa roman yang tadi beliau sajikan bukan berarti marah. Mereka hanya tidak terbiasa berinteraksi dengan orang ‘luar’ dan tentu saja karena kendala bahasa (tapi bahasa sunda gue gak dimengerti hwaaaa! 😦 ). Alasan lain agar kita memilih menginap disitu adalah mereka mempunyai kamar mandi. Jawaban kami: setuju!!! 🙂

Paket yang ditawarkan adalah Rp. 100.000/malam, kami menyediakan bahan makanan (beras, mie instan, sarden atau apapun) dan tuan rumah akan memasakkan. (DEAL!)

Kami pun membongkar barang bawaan kami dan meninggalkan barang-barang yang tidak kami perlukan. Membawa hanya 1 ransel yang akan dibawa oleh Kang Diyat akan sangat memperlancar trekking kami.

Pukul 1.00 siang, teriknya matahari benar-benar menjadi cobaan terberat, terutama bagi saya karena ini merupakan pengalaman pertama saya trekking. Berkali-kali saya harus mengguyur kepala saya dengan air segar untuk menyejukkan kepala yang rasanya sudah sepanas pantat wajan penggorengan (Lebaaay!) It was damn hot! Ditambah lagi hutan dan bukit yang kami lalui sebagian besar digunduli karena saat ini adalah musim tanam. Dengan kemiringan sekitar 30-60 derajat, pijakan semakin terasa berat. Kombinasi latihan sempurna sebelum menuju Gunung Gede menurut Julia! (Right! phiuh). Bahkan Julia (si Pendekar Gunung) merasa medan yang kami tempuh berat karena teriknya matahari.

Nauzubillah panasnyaaa…!

Baduy Dalam

Baduy Dalam dibatasi oleh Jembatan kedua yang kami lalui.

tetep foto dulu! 😉

Setelah melewati jembatan, sesuai peraturan adat, kami dilarang mengambil foto. 😦 Dua jam kami melewati medan yang terus naik turun dan panas sangat, dan sampailah kami di desa tempat Kepala Suku bermukim. Kami tidak diperbolehkan mendekat bahkan ada palang yang menandai larangan masuk bagi pendatang. Namun demikian kami disambut hangat oleh Ibu Lurah setempat. Kami bertandang dan disuguhi buah asam kering yang merupakan ‘snack’ jamuan bagi tamu. Saya kurang suka dengan rasanya yang menurut saya aneh, tapi Julia dan Kang Dayat suka sekali. Dan rupanya buah asam kering ini merupakan salah satu komoditi ekspor suku Baduy ke ‘dunia luar’ selain buah durian. Yaa…meskipun mereka hidup terpisah dari komunitas luar tapi mereka tetap melakukan hubungan bisnis. Hal unik lain yang kami temukan adalah suku Baduy Dalam tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan untuk melakukan perjalanan kemana pun mereka pergi. Yup! Mereka berjalan kaki sajah!

Hal lain lagi adalah pengunjung boleh menginap di perkampungan Baduy Dalam tapi tidak boleh lebih dari 2 malam. Hal ini dimungkinkan agar tidak terjadi interaksi intens dengan pengunjung yang kemudian akan membawa pengaruh (buruk) bagi penduduk asli.

She Finally SMILED! 🙂

Pada hari kami pamit, kami meminta ijin pada sang Ibu tempat kami menginap untuk bersedia berfoto dengan kami saat beliau sedang menenun. Hmmm…sangat tidak sopan sekali kami karena tidak ada inisiatif untuk bertanya siapa nama sang Ibu lewat Kang Diyat (Udah keder dengan respon dingin wajah si Ibu siih..).

Kami masih mempunyai persediaan coklat yang ternyata bisa menjadi ‘penghubung’ silahturahmi kami dengan memberikannya pada anak-anak yg kami datangi. Begitu juga dengan anak sang Ibu yang tersenyum malu-malu menerima pemberian coklat dari Julia (yang akhirnya dengan rela ia berikan dengan bujukan: di Ciboleger ada alfa mart, Juuul!). Si anak tersenyum…eeh..Si Ibu pun tersenyum!! Kami pun berebut mengucapkan greeting chunks berikutnya yang saya punya:

“Hatur nuhun Ibuuu…! Mangga…!”

Tapi kembali wajah tanpa ekspresi yang disuguhkan. 😦 Tak apalah! Kang Diyat tak henti-hentinya mengatakan: “Dia gak marah kok, Mbak! Memang seperti itu..” Baiklah Kang… 🙂

Succeed!

Seperti keberuntungan-keberuntungan ketika kami berangkat, perjalanan pulang kami pun mulus tanpa adanya penantian. Cap Cuss, cyiiin!!!

Kesuksesan yang lain adalah kami (atauu saya lebih tepatnya) berhasil mengelabui teman kami yang berada satu ruangan dengan saya di tempat kerja bahwa kami tetap melakukan PENDAKIAN CIKURAY! Until this post is published…. 🙂 😀 hehehehehe

PEACE Mama B.E.A.R!!!!!  

Summary of trans and expenses:

Stasiun Serpong – Rangkas Bitung     Rp. 1500 (yaa! seribu lima ratus)

Hotel di Rangkas Bitung Rp. 165.000 + BF (menuju Hotel Wijaya, keluar dari stasiun lurus saja sekitar 10 menit)

Angkot no. 07 ke terminal Aweh Rp. 2.000

Angkot Elf  dari Aweh – Ciboleger Rp. 15.000 (Jadwal paling pagi jam 6.30, berikutnya jam 9.00)

Kereta dari Stasiun Rangkas – Serpong Rp. 4.000 (ekonomi yang lebih manusiawi)

Guide: tergantung tawar menawar. Harga Rp. 200.000 – 300.000

Porter Tas: tergantung tawar-menawar. Harga Rp. 40.000 – 50.000/tas

Dan selebihnya pengeluaran sesuai dengan kapasitas perut dan keperluan minum selama trekking.

Kang Diyat phone: 085-890-436-149

Selamat Berpetualang! 😉

SALAM!

Penggalan mosaic

Image

Bertemu dengan sahabat kecil saya

Dari entah buku karangan siapa yang saya baca (Ginko Biloba needed here..hehehe), berbekas dalam pemahaman saya bahwa hidup ini adalah perjalanan kita mengumpulkan potongan mosaik yang terberai untuk kita pahami dalam setiap susunannya. Dan untuk mengerti itu kita perlu mencari koneksi dalam tiap kepingnya. Dalam kemisteriannya untuk ditemukan itulah petualangan hidup yang penuh ‘kebetulan’ saling mengkait. Dengan pemahaman itu apakah kemudian suatu ‘kebetulan’ itu benar ada atau hanya menunggu untuk di ‘temukan’?